Kader Harus Selalu Berfikir Positif

STISHID – Di antara kesyukuran penulis dalam menekuni rutinitas berbagai kegiatan adalah kala ana juga diberi amanah dan kesempatan untuk menyapa para kader dakwah alumni STIS Hidayatullah.

Acap mengenangnya maka kebanggaan itu selalu muncul sebagai syukur di hati. Meski penulis juga wajib minta maaf sebab tak semua kader dakwah alumni STIS bisa ana sapa sesatu demi satu.

Terkadang ana hanya bisa menyapa secara kolektif di grup WhatsApp atau media social. Atau terkadang menyapa secara acak saja diantara mereka

Suatu waktu ada diantara mereka yang membanggakan itu,  “curhat” kepada ane secara langsung, ia mengaku terkadang terbebani dengan amanah ideal yang begitu berat dipikulnya

Sedang di saat yang sama alumni tersebut juga menyadari kapasitas dan kualitas diri yang dipunyai. Belum lagi jika bicara ragam tantangan dan model santri yang dihadapi di asrama selaku pengasuh.

Maka sekali tempo alumni yang bikin bangga hati itu bilang begini, “berdosa betul aku di sini ustadz, tiap hari (hanya bisa) marah-marah. ada saja (hal) yang bisa bikin (hati dan emosi) meledak.”

Jujur. saat itu saya langsung larut dalam perkataan kader dakwah tersebut. Sekejap fikiran ana meloncati samudera yang memisahkan kami berdua. Seolah ingin langsung hadir membersamanya di jalan terjal mencetak kader ini.

Seolah ingin langsung menyibak apa sebenarnya yang sedang terjadi di sana di jalan sunyi tersebut?
Entah mengapa, saat itu tiba-tiba ana hanya bisa bilang dan berbagi begini kepadanya. “Sabarlah wahai kawan”, sesungguhnya mudah saja membalik kalimat tersebut. Mengapa kita tidak mengatakan begini saja: “berpahala betul aku disini. setiap hari bisa sayang ama adek2 santri. ada aja hal yg bikin aku bahagia dengan mereka”

Lanjutannya, ana bilang begini, “seiblis saja bisa bikin nabi Adam masuk surge, apalagi seorang santri yang (sejatinya) ia punya niat belajar dan memperbaiki diri.

Dalam diskusi selanjutnya, ana sempat dicecar dan dikejar dengan mengatakan “mudah untuk berteori”.

Saat itu ana meneruskan coretan ana begini. Ini bukan masalah bermimpi di siang bolong atau bicara mudah atau gak mudah. Tapi yang demikian itu adalah fakta dan realitas secara logik empirik bahkan berdasar khabar shadik.

Bahwa teorinya demikian pun praktiknya juga sedemikian itu. Sebab Abu Jahal dan Abu Lahab saja bisa bikin nabi Muhammad masuk surge. Apalagi Abu Bakar yang bersamai di sisi kehidupannya.

Lebih jauh dan seperti biasa, untuk melengkapi coretan, ana menyisipkan analogi andalan tentang si kulit bundar. Bahwa gak ada lagi kata mundur jika kompetisi liga itu sudah digelar. Bahwa gak ada lagi kata mundur jika hasil knock out drawing sudah diputuskan .

Sebab di sini kita semua sudah berbicara bagaimana menyikapi apa yang mewujud nyata di depan mata. Tak ada waktu lagi untuk berkesah tanpa solusi. Apalagi jika sampai berfikir untuk mundur.

Apakah sekelas klub Manchester City ingin berfikir mundur hanya karena merasa gak cocok ? Atau karena merasa terdzalimi dengan keputusan harus bertemu versus los cules (Barcelona) di babak 16 besar liga champhion saat ini ?

Atau klub Southampton asuhan coach Ronald Koeman yang tiba-tiba serasa liliput yang mungil nan mini di tengah raksasa-raksasa the big four liga inggris sekarang ?

Sebagaimana apakah seorang Mario Balotelli tiba-tiba merilis niat dan kehendak gantung sepatu hanya karena pemain yang berjuluk super balo itu baru mendonasikan tiga gol ke jaring lawan liverpool sepanjang musim ini ?

Sebab yang ada sekali lagi adalah mujahadah semaksimal mungkin. Sebab yang tersisa adalah mengasah kemampuan secara all out.

Mari terus berlatih dan bertanding sebaik mungkin. Boleh jadi inilah yang dinamai romantisme mencetak kader.

*Senandung tanggung di sela kabut megamendung di Kota Bogor

Share

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp